Dahulu kala jauh dari belantara kota, tak mengapa baginya. Tetapi sekarang jauh dari dekapan ibu, enggan rasanya. Ditambah sang ayah yang sudah tua dan adik yang butuh suapan untuk masa depan. Apalah daya diriku, yang bukan seorang pejabat yang terlahir dengan keglamoran.
Aku hanyalah orang biasa yang ingin menjadi Berharga.
"Ndok, kenapa melamun?."
"Ehh.. ndak papa pak, lagi mikirin tugas aja." ucapku sedikit terkejut sambil tersenyum kikuk, layaknya orang yang sedang terciduk.
"Tugase akeh tah? Opo tugase sing angel tenan?."
"Nggeh pak, tugase sing iki angel tenan. Aku ora paham." ucapku sembari menghela napas berat
"Boleh bapak cerita, ndok?." kata bapak sambil sedikit menepuk pundak ku
"Ya boleh toh pak, moso ndak boleh." ucapku sambil sedikit menggeser posisi, agar bapak bisa duduk
"Dulu.. waktu bapak seumuran kamu, bapak juga sama kayak kamu. Bedanya, dulu bapak lebih bandel. Bapak juga ndak peduli karo pelajaran sekolah." kata bapak sambil menerawang jauh kesana
"Ahh.. moso sih pak? Ku kira orang dulu itu ndak ada yang bandel-bandel, akehe sing rajin-rajin tok."
"Ndak juga ndok, kayak yang bapak bilang tadi. Ada juga sing bandel-bandel nya. Tapi akeh juga sing rajinne, seperti katamu. Kayak di jaman nya bapak, masih akeh uwong yang ndak mau sekolah."
"Lohh.. kok iso pak?." ucapku terkejut, sambil refleks menghadap kearah bapak
"Iso lah, karena dulu anak-anak seumuran mu, masih bantu orang tuane cari uang. Jadi ya, mereka ndak terlalu memikirkan soal pendidikan. Sing mereka pikirin, gimana cara untuk ngeringanin beban orang tuane."
“Ya.. tapi kan mereka bisa kerja sambil sekolah pak.” ucapku sedikit menyanggah
“Nggeh.. tapi merekane ndak mau, jarene mereka lebih baik bantu orang tuane. Dari pada sekolah.”
“Aku ndak habis pikir sama pemikiran orang dulu, kok iso yo mereka berpikiran kayak ngono.” ucapku sambil memandang kearah bapak
“Mereka begitu ya, karena ndak berpikir panjang, dan ndak mikirin kedepannya bakal kayak opo. Dulu juga, sekolah iku angel tenan, butuh biaya sing akeh. Jadi, mereka ndak mau bikin orang tuane terbebani.”
“Ohh.. ngono toh, pak.” ucapku mengangguk-anggukkan kepala
“Iya ndok. Sekolah sekarang mah termasuknya enak, ndak kayak dulu, waktu di jaman bapak. Paling pelajarannya aja sing akeh, dan tambah angel. Jadi, jangan sia-siain masa-masa sekolahmu. Karena itu semua, ndak akan terulang lagi di masa yang akan datang.” kata bapak sambil tersenyum memandang kearah ku
Aku menganggukkan kepala, sebagai tanda mengerti atas ucapan bapak.
Dan tak lama, bapak kembali berucap
“Seangel apapun tugase, jangan pernah berhenti untuk mencoba. Kalo kamu terus-menerus gagal, maka cobalah lagi. Sampai kamu berhasil menemukan jawaban yang tepat.” kata bapak sambil mengusap pucuk kepalaku
“Nggeh pak, Insya Allah Aca bakal selalu ingat kata-kata bapak.” ucapku sedikit mendongak sambil melihat ke arah bapak
Setelahnya percakapan kami pun berakhir, dan semua kembali hening seperti semula. Karena langit pun sudah semakin gelap, dan udara yang semakin dingin.
Embun mulai membasahi, dan detik berikutnya muncul rintik demi rintik air yang membasahi sebuah atap sekolah. Aca yang duduk di bangkunya pun termenung sambil memikirkan ucapan yang bapaknya katakan semalam.
Dia berpikir, apakah ia bisa membahagiakan bapaknya dan membuat bapaknya bangga? Dan apa ia juga bisa berhasil, serta sukses suatu saat nanti?
Sedangkan dirinya hanyalah seorang siswi yang tak punya prestasi, ia cuma seorang pelajar yang hanya menekuni pelajaran yang diberi. Walau ia tak terlalu mengerti, setidaknya ia mau belajar dan menaati apa yang diberikan oleh gurunya. Dan tidak menjadi anak yang pembangkang. Karena baginya, bapak dan adiknya adalah sesuatu yang sangat berharga dan sangat ingin ia jaga. Oleh sebab itu, walaupun ia tak seperti anak-anak lainnya yang membahagiakan orang tuanya dengan kepintaran, tetapi setidaknya ia sudah membahagiakan bapaknya dengan cara ia tidak berbuat masalah disekolah.
Seketika lamunanku buyar begitu saja, karena ada seseorang yang menepuk pundak ku dan duduk tepat di depanku. Sembari berucap
“Heh! bengong aja, masih pagi juga.”
“Kamu tuh ya, kalau datang bukannya salam dulu kek, malah ngagetin aja. Untung aku nggak kagetan, dan latahan orangnya.” ucapku mendengus kesal kearahnya
“Hehehe.. sorry lah, abisnya serius banget bengongnya.” ucapnya sambil memperlihatkan deretan giginya yang rapih
“Hmm.. lain kali jangan gitu, kalau aku jantungan gimana?.” ucapku masih kesal
“Iya, nggak lagi-lagi deh, beneran dah. Btw, sekolah kita mau ngadain lomba loh. Kamu, nggak ada niatan mau ikutan gitu?.” cicitnya
“Kamu tau sendiri kan, aku gimana. Lagian juga, aku nggak pernah ikut-ikutan lomba begituan.” ucapku tak minat
“Coba ikut aja dulu, biar tau gimana rasanya. Itung-itung jadi pengalaman kan.” ucapnya sedikit membujuk
“Emangnya, kelas kita nggak ada yang mau ikutan lomba?.” tanyaku
“Hhh.. tanpa aku kasih tau juga, pasti kamu udah tau kan jawabannya.” ucapnya sambil menghela napas berat
Aku mengangguk tanda mengerti atas ucapannya.
“Jadi, mau ya ikut lomba buat ngewakilin kelas kita?.” ucapnya memelas sembari menggoyang-goyangkan lenganku, membujuk
“Emang, lomba apa yang harus aku ikuti?.” tanyaku lagi
“Lomba gambar yang paling kreatif, tapi temanya di tentuin dari sekolah.” paparnya
“Ohh, yaudah. Aku mau.” ucapku final
“Beneran?, ahh.. makasihh banyak Aca. Love you sekebon.” ucapnya sambil menunjukkan fingers heart
Hari perlombaan pun di mulai, para murid berkumpul di ruangan yang sudah disediakan untuk lomba. Masing-masing peserta fokus pada objek gambar mereka. Mulai dari garis dasar, sampai ke bagian-bagian detailnya. Begitupun dengan Aca.
Sekarang ia sedang memikirkan apa yang akan di gambarnya, dan bagaimana supaya gambar itu terlihat menarik. Ia bukan ingin bersaing atau gimana, tetapi ia memang pada dasarnya adalah pecinta keindahan dalam sebuah karya, seperti gambar dan detail-detail yang menghiasinya. Baginya, menggambar itu seperti menceritakan apa yang ia rasakan. Seolah-olah ia menyatu dengan gambar tersebut.
Tak terasa, waktunya sudah habis. Dan para peserta pun sudah menyelesaikan karyanya masing-masing. Hanya tinggal menunggu siapakah pemenangnya.
Saat mengumpulkan dan pada saat di nilai oleh juri, gambar Aca tidak di lirik sama sekali. Karena itu, Aca menjadi tidak percaya diri dan tidak berharap bahwa dirinya akan menang. Namun, pada saat juri membacakan nama pemenangnya ia kaget. Karena justru namanya lah yang disebut oleh juri, sebagai pemenang.
Alhasil ia pun menangis terharu, karena tak menyangka ia akan menang. Tak lupa, ia memeluk temannya Tia, yang menyuruhnya untuk mengikuti lomba tersebut.
“Kamu pernah bilang sama aku, Allah selalu melihat keseriusan setiap hambanya, ketika menginginkan sesuatu, dan usaha juga tidak akan pernah mengkhianati hasil. Aku juga tau seberapa usahanya kamu buat bikin bapak kamu bangga, walaupun bukan dari kepintaran akademik. Kamu hebat, selamat ya!.” ucapnya sambil merentangkan tangan dan memelukku
Aku semakin mendekapnya erat, menyalurkan rasa senang dan haru. Beruntungnya aku, mempunyai teman baik seperti Tia, yang selalu mendukungku dan selalu membuatku menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Darinya, aku banyak belajar, seperti menjadi lebih percaya diri, lebih berani untuk mengikuti kata hati, dan tidak takut untuk mencoba sesuatu.
Begitulah pengalamanku semasa di bangku sekolah, bersama teman baikku yang bernama Tia.
Ceritaku dan dia belum selesai hanya sampai disini, tetapi cerita kami akan terus berlanjut. Hingga kami mencapai impian kami masing-masing.
Ternyata, benar kata bapak
“Masa-masa sekolah adalah masa-masa yang tak boleh dilewatkan begitu saja, karena di masa-masa itulah kita banyak belajar dari sebuah kesalahan dan banyak mencoba hal baru.”
Terimakasih buat yang udah sekedar mampir atau untuk yang benar-benar membaca.
BalasHapus